ASN Dalam Lembaga Independen

Bagikan berita

Studi Kasus pada Film The End Game 75 Pegawai KPK yang Dinyatakan Tidak Lulus Tes Wawasan Kebangsaan dan Wawancara Sebagai Aparatur Sipil Negara

Pada abad ke XX sampai dengan XXI, banyak bermunculan lembaga-lembaga baru yang berada diluar struktur organisasi pemerintahan atau negara yang lazim kita ketahui. Biasa kita kenal dengan sebutan Lembaga, Badan, Komisi, Dewan. Perlu diketahui juga bahwa pembentukan lembaga ini atas keinginan, konsep-konsep dan ide-ide masyarakat dalam mencapai demokrasi dan hak asasi manusia. Sehingga pembentukan-pembentukan lembaga ini seringkali disebut sebagai lembaga independen.

Lembaga yaitu suatu badan atau organisasi yang memiliki tujuan melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha. Sedangkan independen memiliki makna yang berdiri sendiri atau tidak terikat.

Lembaga independen dapat diartikan sebagai suatu badan atau lembaga yang berdiri sendiri dan memiliki sifat tidak terikat. Lembaga independen sebagai lembaga yang mandiri mampu menciptakan suatu lingkungan yang kondusif dan harmonis.

Lembaga independen juga menjadi badan yang menghubungkan negara dengan rakyat. Dengan tujuan untuk menguntungan bangsa dan negara, terutama rakyat, hal ini berkaitan dengan pengikat atas status independensinya sebagai lembaga.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada hakikatnya lembaga negara ini merupakan penghubung antara negara dengan rakyat secara tidak langsung. Lembaga independen memiliki sifat yang membedakan dengan lembaga lainnya.

Sifat tersebut digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui lembaga independen itu sendiri dan ciri khasnya, ialah:

  1. Ciri-ciri dari lembaga independen yaitu sebagai berikut. Lembaga independen sebagai lembaga yang bebas didirikan berbasis Undang-Undang Dasar.
  2. Lembaga independen memiliki sifat tidak terikat, dimana tidak ada yang dapat mengikat suatu lembaga independen dalam melakukan kebijakannya.
  3. Lembaga independen juga memiliki sifat self regulatory agencies yang berhak digunakan untuk mengatur sendiri wilayah kerjanya.
  4. Meskipun lembaga independen merupakan badan yang mandiri, terdapat pula kemungkinan untuk menutup dan membubarkan lembaga independen.

Dalam hal ini penulis akan lebih memfokuskan pada studi kasus yang tercantum pada judul yang dipaparkan ialah mengenai kasus Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam kasus ini ada 75 pegawai KPK yang digagalkan menjadi ASN, karena tidak dinyatakan lulus pada Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan wawancara yang dilakukan oleh KPK sendiri.

Jika KPK masuk dan anggotanya menjadi Asn maka sikap KPK bisa dinyatakan tidak memilki independensi lagi, lalu ketika anggota KPK menjadi bagian dari ASN maka pegawai KPK harus tergabung dalam kementerian Aparatur Sipil Negara, dan dimana pemberantasan Korupsi haruslah memilki kementerian sendiri agar tetap berapa di bawah naungan pemerintah pusat.

Pada dasarnya gagasan pembentukan KPK sebenarnya diawali oleh TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Menindaklanjuti amanat itu, DPR dan pemerintah kemudian membuat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ketika pembahasan UU itulah, muncul gagasan dari beberapa orang Fraksi PPP seperti Zein Badjeber, Ali Marwan Hanan dkk.

Mereka mengusulkan untuk menambah bab tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Yang saya ingat usulan itu bukan ketikan komputer, tetapi manual,” kenang Ketua KPK Taufiequrachman Ruki.

Mereka ingin agar ini dijadikan bab tersendiri, merupakan bagian dari RUU tersebut. (Menyalakan Lilin di Tengah kegelapan oleh KPK)
Tapi usulan itu ditolak Fraksi ABRI. Dengan alasan ketidak logisan berbipikir dan belum adanya kajian secara yuridis mengenai satu pasal. Karena membangun sebuah lembaga besar dg kewenangan yang besar tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan.

Karena itu, Fraksi ABRI terpaksa menolak penambahan satu bab ini. Tapi soal pembentukan KPK, mereka setuju.

Kemudian disepakati amanat pembentukan KPK akan dimuat dalam aturan peralihan UU No. 31 tahun 1999. Akhirnya, aturan peralihan UU No. 31 tahun 1999 mengamanatkan agar paling lambat 2 tahun setelah UU itu disahkan, KPK sudah dibentuk.

Adapun catatan tambahan di luar buku “Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan”. Menurut kesaksian Zain Badjeber, konsep dari Fraksi PPP menginginkan agar seluruh penanganan perkara korupsi dialihkan ke KPK, namun fraksi lain tidak setuju.

“Agar barang itu (KPK) cepat jadi, akhirnya PPP mengalah, sehingga kepolisian dan kejaksaan juga berwenang menangani korupsi,” katanya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri resmi dibentuk pada Desember 2003 berdasarkan UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Hadirnya Aparatur Sipil Negara dalam KPK ialah atas dasar Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atas perubahan pertama Undnag-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Aturan yang melemahkan KPK terdapat pada beberapa pasal. Akan tetapi dalam Undang-Undang 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak semua poin diubah melainkan ada beberapa poin yang tidak diubah, ialah :

  1. Pengubahan status pegawai KPK sebagai aparat sipil negara, seperti diatur dalam pasal 1 ayat 7 dalam revisi UU KPK, juga akan membatasi gerak penyidik dan penyelidik. Artinya, mereka akan tunduk kepada UU Aparatur Sipil, sehingga mereka tidak akan menjadi independen seperti yang dilakoni KPK selama ini.
  2. Pasal 12B yang menyebutkan bahwa penyadapan dapat dilakukan KPK atas izin tertulis dari Dewan Pengawas. Dimana Dewan Pengawas disebutkan dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan KPK paling lama satu kali 24 jam sejak permintaan diajukan.
  3. Pasal 69D yang merupakan ketentuan peralihan menyebutkan sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini.
  4. “Tiga pasal ini membingungkan karena saling bertolak belakang, dengan Pasal 70C maka seluruh penyidikan berhenti karena penyidik harus aparatur sipil negara [ASN], mendapatkan pelatihan yang bekerja sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan dan pimpinan bukan penyidik,” ucap Ketua Umum YLBHI, Asfinawati.

Hal ini dapat diartikan, bahwa hanya penyidik dari kepolisian yang bisa bekerja karena polisi berstatus sebagai ASN. Konsekuensi aturan ini akan melemahkan pengawasan internal terhadap kerja penyidik.

Selain itu, poin lainnya yang dikritisi oleh KPK yakni pasal 29 poin e yang berbunyi, ”Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK, harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan”.

Namun, salah satu pimpinan KPK terpilih, Nurul Ghufron terancam tak bisa diangkat. Sebab usianya baru 45 tahun, terpaut 5 tahun dari batas bawah yang diatur revisi UU KPK. Kemudian dalam poin f, tidak pernah melakukan perbuatan tercela’.

Dengan demikian Aparatur Sipil Negara memiliki bidang dan bagian tertentu. Dimana ASN ini merupakan bidang yang memang bertugas dalam lingkup pemerintahan atau lemba negara.

Sedangkan KPK ini bersifat independen tanpa harus ada intervensi dari pihak manapun. ASN juga berada di bawah naungan Kementerian ASN, sedangkan KPK berada di bawah naungan KPK sendiri, sehingga dgn ini tidak singkron antara tujuan pembentukan KPK dengan keberlangsungan adanya KPK itu sendiri.

Ruang lingkup KPK yang menjadi orang netral dan penghubung antara masyarakat dan negara menjadi terbatas dengan kode etik sebagaimana layaknya ASN. Karena memang ASN dan lebaga Independen merupakan sesuatu hal yang sangat sulit untuk kita selaraskan.

Keduanya berada dalam langgam yang sama sebagai alat negara. Namun secara konsep keduanya memiliki perbedaan, tidak hanya dari definisi tetapi juga dalam rumpun kelembagaan. Dimana rumpun kelembagaan eksekutif akan selalu beriringan dengan ASN sebagai pelaksana tekhnis kelembagaan.

Tentu berbeda dengan lembaga negara independen yang menyebutkan istilah kepegawaiannya dengan istilah pegawai lembaga negara independen atau spesifik menyebut kata ‘pegawai’ lalu menyebut nama lembaganya secara langsung, misalnya untuk tenaga sumber daya manusia (SDM) di KPK yang selanjutnya disebut sebagai pegawai KPK (sebelum perubahan Undang-Undang KPK).

Tes TWK merupakan hal yang wajar jika ingin dilakukan dengan pertanyaan yang sebagaimana lazimnya kita temui bukan pertanyaan yang menjurus pada diskriminatif sebagaimana yang dijelaskan dalam video berdurasi -/+ 2 jam ini.

Bagi saya ada hal yang salah dalam pembuatan soal TWK yang terlalu menjurus pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal dan menggagalkan orang jujur demi perbuatan yang curang.

Peranan kita sebagai orang atau masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan keadilan ditengah sistem yang tidak adil, ialah: tetap berpegang pada agama, tetap berpegang pada kebenaran, tetap berpegang pada kejujuran, tetap menanamkan dalam jiwa bahwa Korupsi itu buruk dan dapat menghancurkan negara, tetap menanamkan jiwa cinta tanah air.

Kemudian membuat sekolah atau menerapkan pendidikan anti korupsi dan tegakkan keadilan dan tidak melibatkan orang dalam terlalu berlebihan ini juga merupakan bagian dari sikap tidak jujur dan akan menimbulkan sikap korupsi. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa ini akan menjadi titik awal korupsi itu dimulai.

Penulis: Rimas Intan Katari, S.H
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNAIR)

Bagikan berita

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

berita terkait

Cari Berita Lain...