Kajian Kasus Aksi Massa pada #tolakUUCIPTAKERJA
Indonesia merupakan negara demokrasi, secara istilah bahasa demokrasi merupakan dua kata yang bergabung ialah demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan kratos adalah pemerintahan, jika di gabungkan artinya adalah suatu pemerintahan yang dilakukan dari rakyat, sehingga hal ini bersangkutan dengan adanya anggota DPR ialah meraka yang berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat atas kepercayaan rakyat, dan berjuang untuk rakyat, bukan untuk kepentingan sendiri.
Memang benar jika dikatakan bahwa kepentingan tidak akan bisa jauh dari ego setiap manusia, tapi perlu di ingat kembali bahwa jika terus kita berpatokan dengan ego atau keinganan atau hasrat semata, lalu bagaimana dengan masyarakat yang juga ada di dalamnya? Apakah suara rakyat ini tidak perlu di dengar hanya karena ada wakil rakyat yang duduk manis di kursi DPR RI?
Pahamilah keinginan rakyat, pahamilah perjuangan rakyat yang bersama-sama dengan mahasiswa aksi turun kejalan demi kesejahteraan. Rakyat menginginkan “KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAP”. Artinya bahwa tidak bisa serta merta seorang penguasa menetapkan sesuatu tanpa melihat rakyatnya.
Pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar”, artinya bahwa kedaualatan atau dengan bahasa lain kekuasan tertinggi berada di tangan rakyat adalah wujud dari negara demokrasi.
Pahamilah bahwa setiap aturan harus juga di lihat bagaimana kondisi rakyat, bukan bagaiamana kondisi para wakil rakyat yang duduk manis dengan teh hangat di atas mejanya. Masyarakat yang turun kejalan adalah masyarakat yang ingin mewujudkan apa yang di inginkan.
Mengenai yang saat ini menjadi perbincangan hangat yang menyatakan bahwa adanya Author Intelektualism dibalik semua ini.
Perlu dipahami bersama bahwa masa yang turun kejalan tidak hanya masa yang benar-benar ingin meminta kejelasan, ada yang ingin juga sebagai aktor lain untuk merusak fasilitas publik, ada juga yang tidak paham sama sekali mengenai apa itu omnibuslaw alias asal ikut-ikutan, dan ada juga yang merasa dengan ikut turun kejalan dialah yang paling benar.
Hal ini memang tidak dapat lagi dipungkiri, karena ada pandangan yang menyatakan bahwa masa yang besar adalah cerminan dari kekuatan. Tidak saling menyalahkan adalah hal yang benar, sama-sama bersatu untuk indonesia yang lebih maju dan mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah tujuannya.
Ada atau tidaknya author intelektualism harusnya pemerintah sudah menyiapkan diri, akan hal ini. Jika ada ketakutan pemerintah mengenai claster baru COVID-19 dengan kejadian aksi tertanggal 6 sampai 8 oktober 2020 maka pemerintah dalam hal ini DPR RI juga harus menahan diri terlebih dahulu sampai negara dalam kondisi yang baik, bukan malah memutuskan secara sepihak dan dalam keadaan darurat seperti ini, ini membuat timbulnya kekecewaan pada hati masyarakat Indonesia.
Hoaks atau Hoax atau biasa dikenal dengan berita bohong adalah penyebutan atau penilaian terhadap sesuatu dengan merujuk pada kenyataan atau aturan yang berlaku dengan tujuan agar tidak adanya kesalahpahaman, ketidak nyamanan, bahka hal-hal lain yang merugikan bangsa Indonesia.
Berbicara mengenai perbincangan hangat di media cetak, sosial, dan elektronik lainnya 7 poin yang berdampak bagi buruh dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan sebagai hal yang bohong atau hoaks karena tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Adapun 7 poin tersebut ialah:
- Aturan kerja yang eksploitatif, artinya ada ketentuan lembur yang awalnya 3 jam sehari dari 14 jam dalam seminggu, diubah menjadi 4 jam sehari dan 18 jam salam seminggu (dalam pasal 78 RUU Cipta Kerja versi I)
- Outsourching meluas, artinya bahwa pengusaha dapat semakin fleksibel merekrut maupun memutuskan hubungan kerja melalui mekanisme alih daya (pasal 89 ayat (20) RUU Cipta Kerja Versi I).
- Hilangnya ketentuan upah minimun di kabupaten/kota, artinya RUU Cipta kerja hanya mengatur upah minimun provinsi (UMP) ketentuan tersebut tidak berlaku untuk industri kecil dan industri karya.
- Sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar di hapuskan, dalam hal ini RUU Cipta kerja menerapkans anksi administratif berupa denda bagi para pengusaha yang melanggar aturan hukum.
- Batasan kerja kontrak dihapuskan, artinya bahwa pengguna sistem pekerja kontrak yang di sebut dalam UU Ketenagakerjaan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) bisa berlaku untuk semua jenis pekerjaan, opini ini muncul dikarenakan adanya penghapusan pasal 59 pada UU Ketenagakerjaan. Sehingga dengan kata lain pekerja kontrak bisa saja menjadi pekerja kontrak selama-lamanya.
- Uang penghargaan dipotong, dalam hal ini pemberian uang penghargaan mengalami penyusutan dimana skema pemberian penghargaan hanya dibagi menjadi 7 periode.
- Pekerjaan yang di PHK tidak dapat menggugat perusahaan, hal ini timbul atas penghapusan pasal 159 UU Ketenagakerjaan yang tidak sejalan dengan standar pasal 8 konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 158 tentang pemutusan Hubungan Kerja, dimana ILO menegaskan bahwa buruh punya hak untuk mengajukan banding atas PHK.
Ketujuh poin ini merupakan dampak yang dipikirkan oleh para buruh kedepannya. Yang walaupun UU Cipta Kerja ini belum ada draft pastinya, namun sudah dilakukan pengesahan.
Untuk dikatakan sebagai berita bohong atau hoaks sebagimana yang diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektrionik (ITE) pasal 28 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.
Artinya bahwa unsur setiap orang siapapun dia yang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dan menimbulkan kerugian bagi orang lain dengan catatan harus ada bukti yang kuat.
- Jika berita bohong bermuatan kesusilaan maka dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE;
- Jika bermuatan perjudian maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU ITE;
- Jika bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE ;
- Jika bermuatan pemerasan dan/atau pengancaman dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (4) UU ITE;
- Jika bermuatan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA dipidana berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE;
- Jika bermuatan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dipidana berdasarkan Pasal 29 UU ITE.
Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) juga mengatur hal tersebut dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya kalimat “menyiarkan kabar bohong”.
Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.”
Mengenai berita bohong juga terdapat pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (“UU 1/1946”), yakni: Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15 UU 1/1946, Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun Dengan mengetahui bahwa adanya aturan yang mengatur mengenai berita bohong atau hoaks.
Maka menurut pendapat penulis jika hal ini dikaitkan dengan kasus pada tolak UU Cipta Kerja yang melibatkan seorang wanita yang berada di Makassar dengan pernayataan di pihak yang berwajib bahwa telah melakukan penyebaran berbita bohohong tertanggal 8 oktober 2020 sedangkan masa turun kejalan sejak tanggal 6 oktober 2020 yang dikenakan pasal 14 ayat (1) UU 1/ 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Jika dikaji lebih dalam bahwa maksud dari poin tersebut, maka seseorang tidak dapat dikatakan sebagai penyebar hoaks karena memang dari pemerintah sendiri belum menentukan dan menetapkan draft UU Cipta kerja, hal ini di karenakan ada dua versi dari UU cipta kerja tersebut ada yang jumlah halamannya 1028 halamn dan ada yang 905 halaman.
Pada kenyataannya bahwa drafnya belum dinyatakan final, serta masyarakat belum dapat di akses melalui laman DPR RI, hal ini tentu membuat kita tercengang karena sudah ada yang ditetapkan sebagai penyebar hoaks.
Tidak dapat secara serta merta menyatakan orang tersebut sebagai penyebar hoak atau bukan atau dengan kata lain ia bersalah atau tidak karena memang tidak ada tolak ukur untuk menyatakannya.
Perlu kita ketahui bersama bahwa justifikasi atau pembuktian sesuatu dapat dikatakan sebagai Hoaks atau berita bohong ialah ketika memang sudah ada dasar atau tolak ukurnya agar mampu menilai sesuatu itu benar atau salah.
Penulis: Rimas Intan Katari, S.H., C. Mediator