Konsistensi Manusia Klasik

Bagikan berita

Oleh: Heri Kurniawansyah Hasan

Perdebatan orang terdahulu itu adalah perdebatan tentang filsafat, ilmu, logika, narasi, dan ideologi. Mereka konsisten dengan nalarnya yang dianggap bernilai dan benar. Arah pembicaraannya sangat jelas konsepsinya. Nalar itu akan berubah manakala nalarnya mulai mempertimbangkan kemaslahatan yang lainnya.

Meskipun perdebatan itu berkecamuk, namun itu semua tentang pertukaran argumentasi yang menghasilkan konsekuensi logis, yang salah tetap salah, dan yang benar harus tetap diikuti. Begitulah mereka menjalankan roda republik ini, maka merdekalah mereka dengan kekayaan konsistensi dan intelektualnya, meskipun hanya bermodalkan kertas dan bambu runcing, tanpa laptop dan android.

Perdebatan Plato dan Aristoteles tentang filsafat politik, perdebatan Adam Smith vs Karl Marx tentang pertentangan prinsip ekonomi kapitalis – kaum borjuis dan sosialis, perdebatan Hamilton vs Jeferson tentang sentralistik dan desentralisasi bernegara, perdebatan Wilson vs Weber tentang konsep birokrasi, perdebatan Osborne vs Denhartd tentang kritik NPM vs NPS, perdebatan Bung Karno, Muso, Kartosoewirjo, Agus Salim, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Buya Hamka tentang negeri ini, dan seterusnya. Semuanya adalah tentang nilai, sehingga sejarah mencatatnya dalam relung yang kekal. Maka bernilailah mereka dengan konsistensi kecendikiawanannya, omongannya bisa dipegang.

Sementara cerminan kita, hari ini mengatakan A, besoknya sudah ngigau ke B dengan beragam alasan yang kadang-kadang menyakitkan pula. Narasinya susah bisa dipegang. Perdebatannya lebih banyak dihabiskan tentang hoax, memei, bahkan begitu semangat berdebat tentang aib orang lain.

Coba perhatikan, mereka yang berkampanye menghentikan hoax, mereka juga yang memproduksi hoax, mereka yang setiap hari mengatakan “saya pancasila, saya NKRI, besoknya sudah memakai rompi orangenya KPK, mereka yang membuat peraturan, mereka juga yang melanggarnya, mereka yang ingin mensejahterakan rakyat katanya, mereka juga yang auto neo-kapitalisme, bahkan melempem dengan paradigma kapitalisme revolusi industri.

“Rindu uluran berpikir manusia klasik itu”.

Bagikan berita

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

berita terkait

Cari Berita Lain...