SUMBAWA – Persoalan selisih suara antara Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Jarot-Mokhlis dan Mo-Novi yang terjadi saat ini diduga dilatarbelakangi permainan terselubung oleh tim paslon dalam menghitung rekapitulasi form C1.
Front Pemuda Pembela Keadilan (FPPK) Kabupaten Sumbawa meminta kepada KPU untuk menertibkan klaim-klaim kemenagan berbasis C1.
FPPK menegaskan, jika form model C1 yang dipegang Paslon Mo-Novi berbeda dengan Form C1 yang dipegang Paslon nomor 1, 2, 3 dan 5 maka diduga ada indikasi pelanggaran atau manipulasi data.
“Seharusnya data form C1 antara Paslon 1,2,3,4 dan 5 itu harus sama, baru bisa kita mengambil keputusan siapa yang menang,” kata Ketua umum FPPK Abdul Hatap SPd, Jumat (11/12).
Forum ini merespon kisruh yang terjadi di Pilkada Sumbawa saat ini. Abdul Hatap mengatakan bahwa form C1 adalah jawaban yang pasti untuk menghitung suara pada pilkada 2020. Jika rekapan yang dipegang adalah form C1 asli dan tidak dipermainkan.
Ia menilai bahwa perbedaan ini dilatarbelakangi permainan persepsi. Apalagi tim Paslon Mo-Novi yang mengklaim diri menang di sembilan kecamatan dengan selisih 853 suara atau 0,4 persen dari Jarot-Mokhlis.
Sementara Tim Paslon Jarot-Mokhlis juga mengklaim bahwa Paslon nomor 5 tersebut menang sesuai perhitungan C1 asli dan telah melakukan verifikasi sebanyak 9 kali dengan C1 Paslon lainnya dan unggul 8 suara dari Paslon Mo-Novi seperti yang dirilis lembaga survey puspoll.
“Tentunya kalau Paslon 5 mengklaim diri menang hasil dari C1 yang telah diverifikasi dengan Paslon lain maka Jarot-Mokhlis menang,” katanya.
Menurutnya, jika nantinya perbedaan suara ini juga terjadi di KPU maka hasil ini akan cacat hukum. KPUD harus menunjukkan data yang valid.
Salah satu tokoh masyarakat Kecamatan Alas yang pernah lama di birokrasi pemerintahan Sumbawa, M Ali saat ditemui di Alas, Jumat (11/12) juga angkat bicara terkait kisruh dalam perhitungan suara di Pilkada Sumbawa.
Ia juga mempertanyakan klaim data C1. “Data form C1 ini kan difotocopy oleh saksi, dan gampang dimainkan dan dirubah jumlahnya diambil dari suara Paslon lain yang kalah dan jauh selisih suaranya,” katanya.
Ia menilai bahwa di tubuh KPU juga berpotensi diintervensi oleh sejumlah pihak. Namun potensi tersebut bisa hilang dengan pengawasan tim Paslon dari kecamatan dan kabupaten yang masuk di dalam tim tersebut.
Juga, aparat hukum harus hadir menegaskan netralitas menjaga suara. “Nanti yang final itu rapat pleno KPU,” kata Ali yang juga pernah menjadi ketua panitia pemilihan daerah (PPD 2) pada tahun 1999 di Sumbawa.
Ia juga menilai pelanggaran yang dilakukan oleh Paslon tertentu di Pilkada Sumbawa yang terkuak di publik sudah jelas dilakukan.
Dia menilai, yang penting adalah bagaimana mengemasnya menjadi bukti pidana pemilu yang memenuhi syarat-syarat untuk diproses.
“Pelanggaran salah satu paslon yang beredar sudah bisa dibawa ke ranah hukum cuma lembaga terkait belum tegas dengan hal tersebut,” katanya. (red)