Oleh: Heri Kurniawansyah Hasan
Tengah malam jiwa ini cukup terusik untuk membagikan berita ini sambil mereview kembali beberapa tulisanku sebelumnya mengenai urgensi keputusan lockdown dan tidaknya lockdown ini.
Coba bayangkan, negara maju sekelas Italia dengan kejayaan ekonomi terbesar ketiga di uni eropa, serta secara geografis memiliki luas wilayah dan penduduk yang tidak seberapa saja sudah seperti ini. Baru tiga pekan diterapkannya lockdown, masyarakatnya sudah kelaparan minta sana sini. Ini sejarah buat negara sekelas Italia dimana rakyatnya harus menderita kelaparan. Jika ini terus dibiarkan, maka kerentanan seseorang untuk saling bunuh-bunuhan demi sesuap nasi akan sulit dihindari, belum lagi penyakit sosial lain yang mengikutinya.
Berdasarkan beberapa kajian-kajian tertentu, saya justru takut korban dari lockdown ini akan lebih besar ketimbang virus itu sendiri, belum lagi akibat-akibat lain yang memboncenginya, termasuk pinjaman uang ke rentenir dunia untuk memulihkan semuanya, dipastikan penderitaan dan sengsaranya bakalan panjang. Begitu juga dengan India, bentrok sana sini hanya untuk bisa makan akibat dari keputusan ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang memang kondisi ekonominya memperihatinkan, rupiahnya anjlok, luas wilayah dan jumlah penduduknya luar biasa, konstruksi sosialnya yang masih susah disiplin, serta manajemen birokrasinya yang berpatologi. Maka tentu kerentanan akan terjadinya konflik besar tidak bisa dihindari. Berapa korban yang akan berjatuhan. Akan masif akibat dari semua ini, semua aspek kehidupan akan terkena dampaknya, dan tentu sembuhnya akan sangat lama.
Oleh karena itu, agak lucu kalau ada orang yang mengatakan mengambil kebijakan tidak perlu memakai kajian akademik segala dalam situasi seperti ini, lah emang anda pikir kebijakan itu seperti indomie yang tinggal direbus saja?, memutuskan perkara dalam rumah tangga saja memerlukan pandangan strategis, jika saya mengambil tindakan ini, apa akibatnya?, berapa manfaatnya?, apa mudaratnya?, dan seterusnya. Sifat kebijakan memang seperti itu, apalagi berbicara sekelas negara.
Saya menyarankan ambil langkah yang menyelesaikan satu masalah tanpa membawa masalah yang lebih besar dan ekstrim lainnya. Jika kita mengambil langkah yang akan mendatangkan masalah yang jauh lebih besar lainnya, itu namanya gila. Hitung volumenya, jika lockdown apa akibatnya, jika tidak lockdown apa akibatnya. Berkutat dalam kebijakan memang begitu kok, makanya ada istilah analisis kebijakan.
Kita bisa berdiskusi dalam hal ini, asalkan kita masing-masing mengkajinya secara konferehensif, bukan asal nyebut tanpa memikirkan akibatnya.