Ramadhan dan Pemilu, Upaya Meliberasi dan Mentransendensi Diri

Bagikan berita

Oleh: Ubaidullah (Komisioner Bawaslu kab. Sumbawa)

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa ” (Q.S. Al Baqarah : 183).
Waktu demi waktu melaju begitu cepat, sebelas bulan berlalu begitu
singkat, kini saatnya kita berada dalam bulan mulia nan agung yaitu bulan suci ramadhan. Bulan yang di dalamnya bertaburkan nikmat, rahmat, maunah, dan magfirahNya, sehingga sebagai seorang hamba harus mampu menunju posisi diri menjadi hamba yang rindu bersua dengan diriNya.

Penulis mencoba menjelaskan dua padangan dari Syaikh Abdul Aziz
Muhammad Azzam dan Syaikh Abdul Wahhab Sayyed Hawwas dalam buku AlWasith fil Fiqhi Al-‘Ibadat mengemukakan arti ‘ramadan’ menurut bahasa berasal dari kata ‘ar-ramadh’ yakni batu yang panas kerena teriknya matahari. Ibnu Duraid menambahkan, “Ketika orang-orang mengadopsi nama-nama bulan dari bahasa kuno secara sima’i dengan zaman (masa) yang ada dalam bulan itu, maka bulan Ramadan bertepatan dengan masa panas terik, lalu dinamakan lah dengan ‘ramadan’,”

Ada pula ulama yang berpendapat ‘ramadan’ diambil dari kata ‘ramadhash
shaa-im’ artinya panasnya orang yang puasa, maksudnya ketika tenggorokannya panas lantaran sangat haus. Juga ada yang berpandangan bahwa bulan Ramadan dinamakan demikian sebab ia membakar dosa-dosa manusia. Ibnul Jauzi dalam bukunya Bustanul Wa’izhin, turut menjelaskan makna ‘ramadan’ yang dinukil dari pandangan ulama lain, “Ramadan disebut demikian, karena ia bulan penyucian tubuh dan penyucian hati. Kata ini diambil dari kata ‘ramadh’ artinya hujan yang datang sebelum musim gugur.”
Selain itu, ada yang mengatakan, “Kata ‘ramadha’ satu makna dengan kata
‘rafadha’, termasuk ke dalam dua kata yang hurufnya sama-sama saling berdekatan, maknanya adalah menolak. Di bulan itu, satu kaum ada yang menolak untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya, ada pula kaum lainnya yang menolak untuk menuju tempat yang dimurkai Allah.”

Masih dari buku Bustanul Wa’izhin, terdapat sejumlah nama lain bagi bulan
Ramadan, yaitu; syahr al-iiqaan (bulan keyakinan), syahr al-Qur`aan (bulan
turunnya al-Qur’an), syahr al-ihsaan (bulan kebaikan), syahr ar-ridhwan (bulan
keridhaan), syahr al-ghufraan (bulan ampunan), syahr ighaatsat al-lahfaan (bulan
pertolongan untuk yang membutuhkan), syahr at-tausi’ah ‘ala ad-dhaifaan (bulan
menghormati tamu), syahr tuftah fiihi abwaab al-Jannah (bulan dibukakan pintu
surga), bulan dibelenggunya setan, serta syahr al- amaan wa adh-Dhiman (bulan
keamanan dan jaminan).

Disebutkan pula nama-nama bulan Ramadan yang diambil dari sejumlah
hadits Nabi SAW, seperti; bulan Al-Qur’an (syahrul qur’aan), bulan puasa
(syahrush shiyaam), bulan sholat malam (syahrul qiyaam), bulan doa, bulan
rahmat, bulan ampunan, bulan sabar, bulan sedekah, bulan rezeki, bulan
kedermawanan (syahrul muwaasah), bulan jihad, bulan keberkahan (syahrul
barakah), bulan masjid, tuannya bulan-bulan (sayyidusy syuhuur), bulan ibadah,
dan bulan kebaikan (syahrul khair).

Nama-nama yang di sematkan pada bulan mulia ini, bertanda bahwa ada
kekhususan dan keistimewaan tersendiri yang bila dibandingkan dengan bulan-
bulan lain. Nama yang penuh makna ini, menjadi indicator bagi kita umat muslim
untuk terus berjibaku untuk mendapatkan pundi-pundi amal sebagai penghapus
dosa-dosa yang kita. Jelas sekali bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang
harus kita lakukan. Ketika kata atau frasa wajib itu diletakkan dalam ayat qur’an
itu, maka konsekuesi loginya adalah kita berdosa bila tidak mengerjakannya.
Ramadhan membuka ruangan kepada kita untuk terus berfatabiqul khairat atau
berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.

Pasca hari pemungutan dan perhitungan suara pada tanggal empat belas
(14) Februari lalu perlu kiranya kita melakukan liberasi dan trandensi diri,
terutama di bulan mulia ini, karena mungkin begitu banyak diantara kita yang
telah melakukan berbagai hal yang telah dilarang oleh UU khususnya UU 7 tahun
2017 tentang pemilu. Salah satu hal yang dilarang adalah sebagaimana termaktub
dalam UU Pemilu terkait dengan larangan melakukan money politik atau politik
uang dan/atau membeli suara. Hal tertuang pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1)
huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. Sebagai konsekuensi hukumnya adalah sesuai dengan Pasal 280 ayat (1)
huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan dendapaling banyak Rp 24 juta”.

Selain politik uang, dalam UU 7 tahun 2017 juga melarang kita untuk
menyebar berita bohong, menghina suku, agama, ras, antar golongan (SARA) peserta lain. Lalu, menghasut, mengadu domba, dan mengganggu ketertiban
umum dan mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan
penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat dan
lain sebagainya.

Hal-hal yang dilarang dalam konstitusi tersebut ternyata lebih dahulu Allah
Swt dan nabi melarang perbuatan-perbuatan tersebut sebagaimana yang
dinukilkan dalam kitab suciNya dan sunnah nabiNya. Seperti politik uang atau
suap menyuap dalam perspektif Islam hukumnya adalah haram. karena praktik
tersebut termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada
seseorang dengan tujuan agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Dalam Al-Baqarah [2] ayat 188, Allah berfirman terkait larangan
memakan harta dengan cara yang haram. Janganlah kamu makan harta di antara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian hartaorang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam Tafsir Al-Misbah Qurais Syihab menjelaskan salah satu yang terlarang, dan sering dilakukan dalam masyarakat, adalah menyuap atau menyogok. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwewenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah. Allah melarang praktik menyogok ini, karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Tindakan suap dapat menyebabkan orang yang berwenang mengambil keputusan yang tidak adil dan tidak jujur, karena mereka telah dipengaruhi oleh suap yang diterimanya. Hal ini
dapat merugikan pihak lain yang seharusnya mendapatkan haknya. Begitupun
dalam hadits, Nabi Muhammad bersabda bahwa Allah telah melaknat penyuap
dan penerima suap. Laknat adalah kutukan dari Allah swt, yang berarti pelakunya
akan mendapatkan siksa dan murka dari Allah swt. “Dari Abdullah bin Amr, ia
berkata bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan penyuapan dan
yang menerima suap.” [HR Tirmidzi dan Abu Dawud].

Selain politik uang, Islam juga melarang kita untuk saling memfitnah,
menghasut, menjelekkan orang lain, menebarkan permusuhan dan perpecahan
yang bisa membuat disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini juga termaktub dalam Alquran yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman!
Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara
kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha
Penyayang. (QS. Al-hujurat : 12)”.

Ayat di atas menjelaskan dengan tegas dan lugas bahwa perbuatan
memfitnah, menghasut, menjelekkan orang lain, menebarkan permusuhan dan
perpecahan. Karena perbuatan ini menjadi pintu masuk terjadinya disintegrasi
dan disharmonisasi dalam masyarakat. Itulah kenapa kemudian Islam telah
mengatur tata laksana kehidupannya dari yang terkecil sampai yang terbesar.
Semua hal terebut juga memiliki konsekuensi hukum baik hukum formal dan
hukum syarinya.

Meliberasi dan Mentransendensi Diri Pembaca yang budiman, momentum ramadhan adalah saat yang paling tepat kita melakukan proses liberasi dan transendensi diri menajdi lebih lebih baik dari sebelumnya. Untuk mencapai pribadi yang muttaqin, tentu kita harus mampu memkasimalkan seluruh ibadah dibulan mulia ini dengan baik. Melalui proses
liberasi diri yaitu mencegah, membebaskan, dan menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan dosa yang bisa menggerus nilai-nilai ibadah kita di bulan
suci ramadhan ini. Frasa liberasi merupakan derivasi makna dari kata nahi
mungkar yaitu mencega diri dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.
Perbutan dan perilaku yang amoral dan nil akhlaq, karena perbuatan ini selain
islam melarangnya dalam UU juga melarangnya.

Dalam konteks ini, Sani (2011: 52) menjelaskan bahwa liberasi memiliki arti
pembebasan terhadap segala bentuk determinasi kultural dan struktural seperti
kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, keterbelakangan. Liberasi dalam konteks
ini menjadikan agama sebagai nilai-nilai transendental, sehingga agama menjadi
ilmu yang objektif dan faktual. Liberasi tidak hanya dalam konteks tataran
moralitas tetapi dilakukan secara kongkret dalam realitas kemanusiaan. Sejalan
dengan proses liberasi diri tersebut, tentu kita harus mampu mengoptimalkan
dan memaksimalkan proses transendensi diri kita selama dan sesudah bulan
Ramdhan. Istilah transendensi adalah arti dari kata tu’minuna billah yang secara
etimolgis berarti kita kembali beriman dan bertaqwa kappa Allah Azza Wajjala.Yang menjadi ciri dari proses transendensi ini adalah istiqomah dalam beribadah, selalu bersyukur, tawadduh (rendah hati), dan taat dalam melaksanakan ibadah (sholat, puasa, sodaqoh dan lain-lain).

Sebagai kongklusi atau istinbatnya dari tulisan singkat ini adalah melakukan
proses pencegahan diri dari seluruh rangkaian kegiatan atau aktivitas dalam hidup kita yang sifatnya destrukti itu sangat penting. Karena mencegah untuk melakukan hal-hal buruk itu lebih baik dari pada kita merekoginisi diri menjadi lebih baik. Ramadhan ini adalah saat yang tepat kita kembali meneguhkan dan memupuk giroh ibadah kita dengan meningkatkan volume dan frekuensi ibadah kita, baik ibadah yang bersifat ritual transendental maupun ibadah-ibadah sunnah lainnya. Jelas di dalam hadis nabi yang artinya “barang siapa yang berpuasa di bulan suci ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah Swt, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.(HR. Bukhori Muslim)”. Orang – orang yang beribadah(menghidupkan) bulan ramadhan, maka dosa-dosanya diampuni oleh Allah swt.
Wallahualam.

Bagikan berita

1 Comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

berita terkait

Cari Berita Lain...