Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai Aparatur Sipil Negara selanjutnya disebut ASN, alangkah lebih baik kita mengetahui tentang ASN berdasarkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara Nomor 5 tahun 2014 selanjutnya disebut UU ASN.
Penjelasan umum mengenai ASN tercantum dalam BAB I pasal 1 UU ASN. Pada pasal 1 poin (1) UU ASN menjelaskan bahwa ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah, sehingga dapat diartikan bahwa ASN ini merupakan profesi pemerintahan.
Pada pasal 1 poin (2) UU ASN menjelaskan mengenai Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pegawai ASN dapat diartikan sebagai pegawai tetap dan PPPK yang bekerja atau mengabdi pada negara melalui bidang pemerintahan dan diberikan hak berupa upah oleh negara berdasarkan pada aturan yang berlaku.
Pada pasal 1 poin (3) dijelaskan bahwa ada yang disebut dengan Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Artinya bahwa PNS ini merupakan pegawai tetap yang tergabung dalam ASN yang diangkat atau disumpah atas jabatannya melalui pejabat pembina kepegawaian, PNS dalam hal ini ialah yang sangat terikat dengan negara.
ASN pada pasal 6 UU ASN ini membagi ASN menjadi 2 ada PNS dan ada PPPK. Dalam hal ini penulis ingin menekan pada ASN yang notabene merupakan seorang PNS, karena seorang PNS memiliki aturan yang cukup tegas dan kuat atau yang disebut sebagai kode etik jabatan. Kode etik jabatan ini merupakan bentuk aturan yang mengikat para PNS.
Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeri Sipil Dan Anggota Angkatan Perang, Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, dan Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 14/SE/1975, tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil aturan-aturan ini merupakan landasan dasar diadakannya kode etik jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil. Sehingga pada pasal 3 UU ASN ini menjelaskan bahwa ada prinsip-prinsip yang melandaskan ASN tersebut.
Jika masuk lebih dalam lagi bahwa ASN adalah profesi dalam lingkup pemerintahan bukan lingkup politik. Berbeda halnya dengan kepala negara Indoensia ialah yang disbeut Presiden dan/atau Kepala Daerah baik Provinsi yang disebut Gubernur maupun kabupaten/kota yang disebut Bupati/Walikota memiliki dua kedudukan dalam memangku jabatan bisa sebagai Kepala Negara atau kepala daerah dan sebagai Kepala Pemerintahan atau pemerintahan daerah yang sudah ditetapkan oleh Undanga-Undang.
ASN tidak bisa disamakan dengan Kepala Negara maaupun Kepala Daerah, karena sudah terlihat jelas perbedaannya ASN sebagai produk pemerintahan dan Kepala Negara maupun Kepala Daerah ialah sebagai produk politik.
ASN yang masuk ke dalam lingkup politik dapat diakatakan telah melanggar kode etik dan bahkan kode prilaku. Hal ini dikarenakan ASN dianggap telah melanggar komitmen, integritas moral, bahkan sampai pada tanggungjawab terhadap pelayan publik. Artinya bahwa ASN merupakan profesi yang harus bersikap netral dalam hal pelaksanaan pesta demoktrasi baik PEMILU maupun PEMILUKADA.
Sebagimana berita yang sedang hangat dipublis oleh Lombok Post hari rabu tanggal 1 Juli tahun 2020 dengan judul NTB Juara PNS Tidak Netral di PILKADA Serentak 2020. Dalam publis tersebut menyatakan bahwa “… Dari sepuluh instansi pemerintah dengan kasus pelanggaran ketidaknetralan ASN tertinggi di Indonesia, tiga instansi dari NTB. Yakni Kabupaten Sumbawa ada di nomor tiga, dilanjutkan Provinsi NTB di nomor tujuh dan Kabupaten Dompu di nomor sembilan.”.
Hal ini bukanlah suatu prestasi yang membanggakan dimana Sumbawa menempati kedudukan nomor 3 menurut versinya atas ketidak netralan PNS dalam menghadapi pesta demokrasi ini.
Dengan adanya hal ini harapan penulis ialah tidak jauh dan tidak bukan akan tindakan tegas bagi para pelanggar sesuai dengan aturan yang berlaku, hal ini tidak akan jauh dan tidak akan luput dari dari kejadian buruk seperti halnya politik jabatan.
Siapa yang menjadi pendukung atau tim sukses atas pemenangan ialah yang akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dipemerintahan, padahal pada aturan yang tercantum sangat jelas dalam UU ASN pasal 12 yang menjelaskan tentang peran ASN ialah sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Artinya bahwa ASN tidak boleh ikut serta dalam kegiatan politik apalagi sampai melakukan hal-hal yang menggunakan fasilitas negara. Ini menjadi pelanggaran yang cukup berat.
Dalam hal ini ada peranan Kepala Aparatur Sipil Negara selanjutnya disebut KASN juga sangat dibutuhkan, dikarenakan tugas KASN ialah menjaga kenetralan dari ASN yang berada dibawahnya.
Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 27 UU ASN KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Sehingga ada kontrol dan pengawasan dari KASN dalam hal ini.
Dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu atau biasa di sebut BAWASLU yang memiliki peranan penting dalam hal ini haruslah menindak dengan tegas dan bijaksana, ini bukanlah hal yang dapat kita lalaikan melainkan pada momentum inilah kita harus lebih rapatkan barisan untuk menghindari hal-hal negatif yang dilahirkan dari politik.
Seperti halnya ada politik jabatan, ada janji-janji terhadap jabatan dan bahkan hal-hal lain yang dapat menghancurkan generasi penerus bangsa nantinya.
Sebagaimana pasal 22B tentang tugas dan wewenang BAWASLU pada huruf i Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi “Menerima dan menindaklanjuti laporan atas tindakan pelanggaran Pemilihan” artinya bahwa BAWASLU bertugas untuk menerima dan berwenang untuk menindakanjuti laporan atas tindakan pelangaran dalam proses pemilihan umum yang terjadi, maka dapat dikatakan bahwa peranan BAWASLU dasar yang telah diatur dalam Undang-Undang, dan sikap tegas dari BAWASLU inilah yang diharapkan agar tidak terjadi hal-hal yang dapat menghancurkan pesta demokrasi maupun jalannya pemerintahan kedeapannya.
Sejauh ini dalam lingkup umumpun sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang menyatakan bahwa “Kalo tidak ada orang dalam pemerintahan bakalan susah mencari pekerjaan”. Statement ini yang harus dihindari karena setiap orang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pekerjaan. Karena jika sudah tetanam statement diatas maka hal ini akan terus terngiang dipikiran setiap generasi kedepannya.
Maka, mari berbenah dan menjadi lebih baik, karena setiap hal dapat terjadi baik disengaja maupun tidak disengaja terjadi.
Penulis: Rimas Intan Katari, S.H
(Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga)
Rimasintan12497@gmail.com